PICU Part Dua – 30 Hari Penuh Cinta dan Keajaiban Bersama Haneen

Perjuangan Haneen di PICU Mitra Keluarga

jika hatimu masih takut dan khawatir.

itu berarti hatimu belum sepenuhnya berserah.

Text From MS

Untuk kedua kalinya, tim analis laboratorium kembali datang untuk mengambil sample darah Haneen. Rasanya aku perih sekali hatiku melihatnya, aku terus berusaha menahan tangisku, tersenyum dan menyemangati anakku. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan saat itu, apakah langsung pasang ventilator saja atau ambil darah ulang. Andai bisa tidak memilih keduanya, andai andai andai, tapi inilah perjalanan yang harus dihadapi.

IGD yang sangat ramai hari itu, terasa sangat mencekam bagiku. Telingaku seperti tidak pekak tidak dapat mendengar apapun dan mataku menatap kosong hanya bisa melihat diriku dan anakku disana. Sendiri duduk bersila memangku anak terbaring dipangkuan dengan tangan kanan menyangga kepalanya dan tangan kiri mengelus badannya.  Terus aku cium dan dekap anakku rasanya seperti tidak akan pernah aku dekap lagi. Rasanya aku belum bisa rela untuk melepaskan nya terbaring sendiri. Aku masih ingin memeluknya, aku masih ingain menggendongnya.

Berdiri sendiri hadapi apapun yang terjadi

Ketika Tuhan telah tetapkan jalannya pada kehidupan kita, maka tidak satupun yang dapat menyangkalnya. Hadapi apapun yang terjadi walau terasa sangat sakit dan lelah. Hasil analisa gas dalam darah anakku selesai untuk kedua kalinya hari itu, dan hasilnya tidak ada perubahan sama sekali, hampir sama dengan hasil sebelumnya. Segera datang dokter anastesi dan dokter spesialis anak yang merawat anakku sejak bayi kedalam ruangan IGD, untuk melakukan tindakan pemasangan ventilator. Aku dimohonkan untuk menunggu diluar, sementara proses pemasangan ventilator. Sungguh rasanya g rela membiarkan anakku sendirian diruangan itu, dokter bilang “Haneen g sendirian kok bu, wong ada dokter ada suster iki lo banyak disekitarnya”. Trus otakku mengkonfirmasi, oiya ya benar juga, anakku g sendiri kok kan diruangan itu ada banyak orang. Tapi hatiku tetap saya ngeyel, rasanya ingin disampingnya, support dia.”

Saat pintu ruangan ditutup, aku menangis sejadi-jadinya jongkok didepan dinding IGD, aku mengeluarkan tangis yang seharian ku pendam agar tetap tersenyum didepan anakku. aku menangis sejadi-jadinya sendiri memeluk lutut, ingin rasanya aku berteriak tapi sungguh aku tak ingin membuat kegaduhan. Aku lihat sekelilingku, aku tau mereka juga merasakan kesedihan dan kepanikan disaat itu, mereka juga merasakan perih yang sama. Saat menongakan wajahku dari lututku, aku berdoa dengan nada teriak dalam hati, Tuhan aku mohon tolong kami, tolong aku, anakku dan semua orang yang ada di IGD ini, tolong mudahkan segala urusan kami, Tolong lapangkan hati kami menerima apapun ketetapan engkau.”

Perlahan ku coba berdiri dengan kaki gemetar, dalam otakku terus ku tanamkan, aku g boleh lemah, anakku membutuhkan aku. Fun Fact nya saat itu langsung aku ambil bungkus makanan yang diberikan temanku dan tetanggaku padaku. Sambil menangis ku habiskan makanan itu, aku habiskan air minum hampir 1 botol 1500 ml. Karena mungkin memang selama ini pelarian ku setiap stres dan dalam tekanan adalah makan, maka tidak heran akupun mampu menghabiskan sate 20 tusuk saat itu. Setelah aku selesai menghabiskan makananku dan membuang bungkusnya, aku diberi tahu dokter bahwa tindakan pemasangan ventilator sudah selesai.

Belajar Menguatkan Diri

Saat aku berada disamping anakku, berdiri melihatnya terbaring menggunakan ventilator. Membuat kakiku rasanya lemas dan hatiku sakit sekali hingga terasa menghela nafas pun rasanya sangat sulit. Setelah ku genggam tangannya dan aku cium pipinya, sambil menatap matanya aku katakan, “mami yakin Haneen manusia yang Tuhan berikan kekuatan lebih, sabar nak yak sakit ini tidak akan lama, Tuhan pasti berikan kesembuhan untukmu dan bebaskanmu dari rasa sakit.”Berulang kali aku cium kepalanya dan aku usap badannya terus menerus. Rasanya aku belum siap untuk meninggalkannya sendirian di ruang ICU. Rasanya aku ingin selalu 24 jam bersamanya  seperti biasanya. Dalam pikiranku hanya ingin terus ada disampingnya apapun yang terjadi.

Dokter bilang kalau anakku akan segera dibawa ke ruang PICU untuk perawatan lebih lanjut. Namun, aku meminta waktu 1 jam saja lagi untuk memeluknya, aku ingin berdoa bersamanya, aku ingin dia ada bersamaku. Dokter mengizinkan aku bersama anakku satu jam lagi, setelah itu dia harus berada diruang PICU. Saat itu aku sadar penuh bahwa aku tidak bisa selalu bersama anakku ketika dia dirawat diruang ICU, karena disana dia hanya boleh ditemani saat jam besuk.

Berserah Itu Tidak Mudah

Waktu terus berjalan malam itu, tidak mungkin aku terus berada diruang IGD, tidak mungkin aku terus berada disamping anakku. Malam itu pertama kalinya aku merelakan anakku tidak berada disampingku, hal itu sangat berat, karena sejak aku dan anakku keluar dari Rumah Sakit saat melahirkannya, kami selalu bersama, tidak pernah terbayangkan olehku pada akhirnya aku tidak tidur bersamanya lagi malam itu.

Ketika pintu IGD terbuka, aku segera berdiri dan sadar penuh waktu berpisah itu telah tiba. Brangkar mulai didorong keluar ruang IGD, langkahku mengikuti berangkar itu didorong. Aku mengambil posisi disamping kepala anakku, dengan senyum yang tersisa aku berkata dengan penuh optimis. Mencoba mekinkan anakku bahwa ini hanya sementara, aku akan selalu ada didepan ruang ICU menunggunya keluar dalam keadaan sehat lagi dan doaku tidak pernah terputus untuknya. Perjalanan dari IGD ke PICU malam itu rasanya ingin ku perpanjang agar aku bisa lebih lama lagi bersamanya. Hatiku terasa sakit sekali menghadapi kenyataan ini sendirian.

Diruang PICU aku hanya boleh sampai nurse counter mengantarkan anakku, melihatnya dari luar terbaring sendirian dalam ruangan yang dikelilingi kaca. Setelah selasai penjelasan dari dokter dan para suster disana, aku minta izin untuk duduk didepan kaca itu 30 menit, melihat anakku. Saat itu yang aku rasakan hanya tidak ingin berpisah darinya, ingin selalu bersama disampingnya.

Sendiri aku menghadapi kenyataan itu, hanya bisa melihat anakku dari kaca. Aku berasa kembali lagi saat dia lahir dulu, saat dia tidak bisa ku sentuh, saat dia mengalami kolesistits. Tapi bedanya disini aku sendirian, tidak ada orang tua yang menguatkan. Otakku langsung tersadar dan mulai meyakinkan diri, it’s okay ini bukan sebuah masalah, karena saat itu masih ada yang peduli padaku. Salah satu suster pun berkata, Ibu jangan khawatir anak ibu aman disini, berdoa saja serahkan semuanya pada Tuhan. Ibu istirahat, ini sudah jam 2 pagi, kalau ibu sakit tidak ada siapa-siapa lagi yang ada buat Haneen saat ini.

Tak Ingin Beranjak Pergi

Melangkah dengan berat, kakiku mulai bergerak keluar ruangan PICU dan terus berjalan hingga keluar koridor ICU. Didepan pintu yang menutup koridor tersebut, aku duduk disebuah kursi kecil namun satpam menyuruhku untuk berada diruang tunggu. Aku menangis dan tidak ingin beranjak pergi dari kursi itu, karena aku merasa ini sudah paling jauh dari anakku. Aku berdoa dan menangis sampai aku tertidur dengan posisi bersandar di dinding, lalu aku terbangun ketika aku hampir terjatuh dari kursi. Aku coba melihat layar handphone ku dan aku lihat masih jam 3 pagi. Aku lihat ada pesan dari temanku Temanku bilang bohong jika aku berkata telah berserah, kalau pada kenyataannya aku masih memaksakan kehendakku dan merasa khawatir akan anakku. Temanku bilang “bohong jika kamu bilang sudah berserah, kalau pada kenyataannya kamu masih memaksakan kehendakmu dan merasa khawatir akan anakmu”.

Hatiku berusaha berserah dan terus berdoa, aku beralih  duduk ke tangga yang mengarah ke lantai dasar. Dilantai tangga aku duduk dan bersandar ke dinding, aku terus berkata “Tuhan kuatkan aku, Tuhan peluk aku, aku lelah”

 

Cerita Selanjutnya  (PICU Part Tiga – 30 Hari Penuh Cinta dan Keajaiban Bersama Haneen)

Scroll to Top