Pagi itu, pagi ke empat setelah 3 hari 3 malam Haneen mengalami koma tidak bernafas spontan dan full ventilator untuk pernafasannya, namun jantungnya berdetak normal. Selama tiga hari itu hampir tidak ada bergerak dari ruangan Haneen, kecuali untuk buang air kecil dan mandi pada pagi hari. Setelah semalaman penuh aku terus berdoa menggenggam tangan anakku dan berulang kali melakukan VTP. Aku merasa ringan sekali bernafas, aku merasa dadaku sangat lapang, rasanya aku tidak pernah seberserah itu sebelumnya. Pagi itu aku berkata “Tuhan, aku mohon bebaskan haneen dari semua peralatan ini, jika memang takdirmu berkata untuknya sembuh, maka segerakan dia sehat dan keluar dari ruangan ini. Jika memang Takdirmu berkata tugasku telah selesai dalam merawat Haneen, maka aku mohon jangan biarkan dia berlama-lama menanggung rasa sakit ini.” Setelah berpamitan dan mencium Haneen, aku pergi mandi, kemudian dilanjutkan sarapan bubur ayam dan susu coklat hangat.
Tepat setelah aku selesai menghabiskan sarapanku, telponku berdering ada panggilan telpon dari ruang PICU. Perasaanku saat itu merasa suatu hal besar akan terjadi, persis seperti beberapa saat sebelum kepergian papah. Aku merasa sekitar yang ramai seperti hening, jiwaku seperti terdiam hampa dan sunyi. Sampai di ruang PICU, aku bertemu dengan dokter Prastiya, yang merupakan dokter yang menangani anakku sejak usia 6 bulan hingga saat itu 4 tahun 7 bulan usianya.
Dokter mengatakan bahwa pagi ini akan dilakukan rotgen dan cek laboratorium ulang, untuk evaluasi kondisi anakku. Dokter pun mengatakan bahwa anakku telah diberikan semua peralatan dan obat-obatan lini pertama sesuai kebutuhannya. Bahkan kami telah mencoba 3 ampul gamaras dan 6 kali pemberian albumin untuk mempercepat proses penyembuhannya. Aku menyetujui dan membayar tindakan yang akan dilakukan pada anakku pagi itu.
Saat alat rotgen mobile masuk keruangan Haneen, aku berkata pada dokter Prastiya “Dok terimakasih telah membersamai proses perjalanan Haneen 4 tahun ini, terimakasih selalu ada saat saya hubungi untuk keperluan Haneen, Terimakasih telah berusaha memberikan penanganan yang terbaik untuk anak saya. Saya menerima apapun yang terjadi pada saya dan anak saya hari ini, saya berserah dan yakin rencana tuhan yang terbaik.” Tidak lupa akupun berterimakasih kepada para perawat yang ada diruang PICU Mitra keluarga Waru, yang sangat detail 24 jam bergantian merawat anakku 30 hari ini.
Ketika hasil foto rotgen masuk kedalam layar monitor didepanku, aku menghela nafas melihat paru-paru anakku yang masih belum ada perubahan signifikan. Tepat setelah alat rotgen keluar dari kamarnya, monitor disamping anakku berbunyi, terlihat saturasi oksigennya terjun bebas pada angka 70%, aku segera mencuci tangan dan melakukan prosedur tindakan VTP, aku dibantu oleh suster Santi saat itu. Aku merasa rasanya dunia sangat hening tanpa ekspresi, aku merasa tidak dapat memikirkan apapun saat itu. Aku minta tolong suster untuk menekan panggilan video call pada ibuku, lalu meletakan handphone dengan pandangan layar memperlihatkan aku dan berdua anakku.
Setelah hampir 30 menit aku lakukan VTP, tidak ada kenaikan saturasi oksigen sama sekali, dimana biasanya setelah 15 menit diberikan VTP saturasinya normal kembali. Aku seperti tersentak ada yang menepuk pundaku. Saat itu sambil terus melakukan VTP langsung aku berkata disamping telinganya “Nak, maafkan mami yang hanya bisa berikan ini padamu, jika memang takdir tuhan berkata Haneen duluan pergi kesurga, Haneen harus rela tinggalin mami. Mami berserah pada tuhan dan merelakan mu sesuai kehendak tuhan. Haneen jangan takut, mami disini g bakal sendirian. Haneen jangan takut, disini mami sangat mencintaimu, disana seluruh penduduk langit menyambut dan menyayangimu, ada tuhan mencintaimu lebih tulus dari mami. Jika memang tugas mami telah berakhir, Haneen duluan tidak apa. Mami akan menyusulmu, berdoalah semoga tuhan izinkan dan mudahkan jalan kita untuk bersama di surga.”
Selesai aku berkata, Haneen membuka matanya, menatapku sangat dalam. Tangannya menggengam jari telunjuk kiriku dan tangan kanan ku memompa balon VTP. Sambil tersenyu, menatap matanya dalam hatiku berkata mami ikhlas, mami rela nak. Sedetik kemudian layar monitor yang menunjukan denyut jantung anakku 120x/menit, langsung menunjukan angka nol dan berbunyi kencang.
Tanganku lemas tak kuat lagi memompa balon VTP, segera aku mengambil stetoskop disampingku lalu meletakkannya di dada kiri Haneen. Hening, lalu terdengar satu kali jantung berdetak namun di monitor tidak ada bergerakan sedikitpun. Aku terus mendengarkan detak jantungnya hingga semenit kemudian, hening dan sunyi tanpa ada detak sedikitpun.
Langsung aku lepaskan stetoskop, lalu aku tersenyum dengan mata yang terus mengalirkan air mata. Hatiku rasanya hancur seperti diblender jadi debu, tubuhku mati rasa, semua disekitarku terasa membisu dan telingaku terasa pekak tak mendengar apapun. Kalimat pertama yang keluar dari mulutku saat itu adalah “Terimakasih Tuhan, telah engkau izinkan aku memberikan segala yang terbaik dalam merawat Haneen, tugasku telah usai aku serahkan dia kembali padamu.” Setelah itu aku berkata pada ibuku didepan kamera handphone, mah putri sudah melakukan segala yang putri mampu, Haneen sudah kembali pada tuhan.’
Aku meminta izin pada suster untuk melepaskan peralatan medis yang melekat di tubuh Haneen, Selang NGT yang aku pasangkan padanya aku pula yang melepaskannya. Dalam hatiku terus berterimakasih pada Tuhan karena dia telah mengizinkanku merawat anakku selama ini, karena dia berikan kemudahan untuk semua prosesnya, dan karena tuhan izinkan aku menepati janjiku saat Haneen dalam kandungan, untuk merawatnya sampai detak jantungnya yang terakhir kali berdetak. Aku yang pertama kali merasakan gerakan dan detak jantungnya, aku juga yang terakhir kali digenggamnya dan mendengarkan detak jantungnya.
Terimakasih Tuhan.
Terimakasih semuanya yang Tuhan izinkan menyertai perjalanan kami.